Rupiah Melemah saat Pasar Libur, USD/IDR di atas 16.300, Tarif Trump Picu Tekanan Baru, Waspadai PCE AS
- Rupiah melemah ke 16.316 per USD di tengah libur pasar domestik, terdorong oleh rilis data ekonomi AS dan kabar pencabutan sementara blokir tarif Trump.
- Ketidakpastian global meningkat akibat gejolak hukum tarif Trump, kontraksi ekonomi AS, dan potensi stagflasi.
- Data PCE inti AS dan pidato beberapa pejabat The Fed menjadi fokus pasar untuk petunjuk arah kebijakan suku bunga selanjutnya.
Spot USD/IDR terus bergerak naik selama lima hari perdagangan berturut-turut hingga hari Jumat saat pasar keuangan Indonesia ditutup karena libur nasional. Rupiah Indonesia (IDR) melemah 0,10% ke 16.316 per Dolar AS menjelang sesi Eropa terdorong oleh rilis data ekonomi AS dan pencabutan sementara blokir tarif Trump oleh pengadilan banding.
Sejak pertengahan Mei, Rupiah sempat menguat sekitar 2,25%, namun mulai mengalami koreksi di awal pekan ini.
Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY) ditutup melemah pada perdagangan hari Kamis yang tercatat di 99,33. Pada perdagangan siang hari ini, indeks tersebut sedikit pulih sebesar 0,17% di sekitar 99,50.
Ruang Pertumbuhan bagi Ekonomi Indonesia
Prospek ekonomi AS yang melemah dapat menjadi ruang bagi pertumbuhan Indonesia, tercermin dari kinerja Rupiah yang membaik di pertengahan Kuartal 2 tahun ini. Sentimen pasar diperkuat setelah Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin ke 5,5% pada Rabu pekan lalu. Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun naik ke 6,83% menurut data terakhir yang tercatat pada 28 Mei.
Pada minggu keempat Mei 2025, BI melaporkan, investor asing mencatat beli neto Rp1,50 triliun di pasar keuangan domestik, pembelian SBN sebesar Rp2,02 triliun dan pembelian saham sebesar Rp0,11 triliun, dengan penjualan bersih SRBI Rp0,63 triliun. Premi CDS Indonesia bertenor 5 tahun turun ke 79,33 bp per 27 Mei dari sebelumnya 82,56 bp, yang mencerminkan penurunan persepsi risiko.
Tarif Trump Kembali Jadi Sorotan, Putusan Hukum Berubah Cepat Memicu Ketidakpastian Pasar
Dalam waktu kurang dari 24 jam, Pengadilan Banding AS menunda putusan yang sebelumnya memblokir tarif Trump, memulihkan sementara kewenangan presiden untuk mengenakan tarif darurat. Wall Street Journal (WSJ) juga melaporkan bahwa pemerintahan Trump tengah mempertimbangkan undang-undang lama yang memungkinkan tarif hingga 15% selama 150 hari.
Ketidakpastian ini memperburuk sentimen pasar global. Bursa Asia pun turut melemah: Nikkei 225 (Jepang) merosot 0,84%, Hang Seng (Hong Kong) -1,40%, KOSPI (Korea Selatan) -0,81%, dan SSE Composite (Tiongkok) -0,31%.
Ekonomi AS Kontraksi di Kuartal 1, Klaim Pengangguran Meningkat
Ekonomi Amerika Serikat mengalami kontraksi pada kuartal pertama 2025. Menurut data yang dirilis Biro Analisis Ekonomi (BEA), Produk Domestik Bruto (PDB) pendahuluan disetahunkan menyusut 0,2%. Meski masih terkontraksi, angka ini sedikit lebih baik dari tingkat sebelumnya sebesar -0,3%. Namun, inflasi tetap menjadi sorotan, dengan Indeks Harga PDB melonjak ke 3,7% dari 2,3%.
Setelah rilis data PDB, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyampaikan bahwa pemerintahan Trump berkomitmen untuk menstabilkan rasio utang terhadap PDB pada tahun 2028. Ia juga mengungkapkan bahwa sejumlah perjanjian dagang akan diumumkan dalam beberapa minggu mendatang.
Dari sektor ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja AS (DOL) melaporkan bahwa Klaim Tunjangan Pengangguran Awal di AS naik ke 240 ribu untuk pekan yang berakhir 24 Mei. Klaim lanjutan juga meningkat ke 1,919 juta dari 1,893 juta, sementara klaim rata-rata 4 Minggu turun tipis ke 230,75 Ribu dari 231,5 Ribu.
Powell Temui Trump, The Fed Tekankan Sikap Data-Dependen di Tengah Kekhawatiran Stagflasi
Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, telah bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Gedung Putih pada hari Kamis. Powell menegaskan kebijakan moneter akan tetap bergantung pada data ekonomi.
Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, pada Kamis menyatakan bahwa penurunan suku bunga masih memungkinkan jika ketegangan tarif mereda. Ia juga mengingatkan potensi arah stagflasi, meski belum terjadi sepenuhnya. "Stagflasi adalah tantangan tersulit bagi bank sentral, namun kita belum berada di titik itu," ujarnya.
Data PCE Inti AS Diharapkan Mendekati Target The Fed
Fokus utama pada hari Jumat akan tertuju pada rilis data Indeks Harga Belanja Konsumsi Pribadi (Personal Consumption Expenditure/PCE) AS. Inflasi inti PCE tetap datar pada bulan Maret, mencerminkan tekanan harga yang mereda. Untuk bulan April, data ini diprakirakan akan naik tipis sebesar 0,1% secara bulanan dan untuk PCE inti tahunan angkanya diprakirakan turun ke 2,5% dari 2,6%, yang dianggap masih sesuai jalur menuju target inflasi The Fed 2%, meskipun tekanan harga tetap ada.
Serangkaian pidato pejabat The Fed hari ini juga berpotensi memicu volatilitas pasar, terutama jika menyinggung isu arah suku bunga.
Indikator Ekonomi
Belanja Konsumsi Perorangan Inti - Indeks Harga (Thn/Thn)
Belanja Konsumsi Perorangan (Personal Consumption Expenditures/PCE) Inti, yang dirilis oleh Biro Analisis Ekonomi, mengukur perubahan nilai semua barang dan jasa yang dibeli oleh penduduk AS pada periode tertentu, tidak termasuk komponen makanan dan energi yang lebih fluktuatif. Data triwulanan dirilis dalam laporan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih luas. Data tersebut merupakan proksi untuk belanja konsumen, pendorong utama ekonomi AS. Secara umum, pembacaan yang tinggi dianggap sebagai bullish bagi Dolar AS (USD), sementara pembacaan yang rendah dianggap sebagai bearish.
Baca lebih lanjutRilis berikutnya Jum Mei 30, 2025 12.30
Frekuensi: Bulanan
Konsensus: 2.5%
Sebelumnya: 2.6%
Sumber: US Bureau of Economic Analysis
Setelah menerbitkan laporan PDB, Biro Analisis Ekonomi AS merilis data Indeks Harga Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) bersama dengan perubahan bulanan dalam Pengeluaran Pribadi dan Pendapatan Pribadi. Pembuat kebijakan FOMC menggunakan Indeks Harga PCE Inti tahunan, yang tidak termasuk harga makanan dan energi yang bergejolak, sebagai pengukur utama inflasi mereka. Pembacaan yang lebih kuat dari perkiraan dapat membantu USD mengungguli para pesaingnya karena akan mengisyaratkan kemungkinan pergeseran hawkish dalam panduan ke depan The Fed dan sebaliknya.
Tarif FAQs
Meskipun tarif dan pajak keduanya menghasilkan pendapatan pemerintah untuk mendanai barang dan jasa publik, keduanya memiliki beberapa perbedaan. Tarif dibayar di muka di pelabuhan masuk, sementara pajak dibayar pada saat pembelian. Pajak dikenakan pada wajib pajak individu dan perusahaan, sementara tarif dibayar oleh importir.
Ada dua pandangan di kalangan ekonom mengenai penggunaan tarif. Sementara beberapa berpendapat bahwa tarif diperlukan untuk melindungi industri domestik dan mengatasi ketidakseimbangan perdagangan, yang lain melihatnya sebagai alat yang merugikan yang dapat berpotensi mendorong harga lebih tinggi dalam jangka panjang dan menyebabkan perang dagang yang merusak dengan mendorong tarif balas-membalas.
Selama menjelang pemilihan presiden pada November 2024, Donald Trump menegaskan bahwa ia berniat menggunakan tarif untuk mendukung perekonomian AS dan produsen Amerika. Pada tahun 2024, Meksiko, Tiongkok, dan Kanada menyumbang 42% dari total impor AS. Dalam periode ini, Meksiko menonjol sebagai eksportir teratas dengan $466,6 miliar, menurut Biro Sensus AS. Oleh karena itu, Trump ingin fokus pada ketiga negara ini saat memberlakukan tarif. Ia juga berencana menggunakan pendapatan yang dihasilkan melalui tarif untuk menurunkan pajak penghasilan pribadi.